SEJARAH DESA LEMAHABANG

SEJARAH DESA LEMAHABANG



        Berkisar pada abad ke 15, terjadilah perintisan pendukuhan Lemahabang. Pendukuha (desa) Lemahabang merupakan pinggiran Desa Caruban yang keberadaannya dirintis oleh Datuk Abdul Jaliil (Syekh Lemahabang / Syekh Siti Jenar).
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M di lingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu, yang sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon.
         Pendukuhan (desa) Lemahabang awalnya merupakan hutan lebat, hamparan rumput dan dihuni oleh hewan serta berbagai jenis serangga ganas. Bila musim kemarau tiba, hamparan rumput berwarna cokelat, asap kali terbakar dan abu yang berwarna hitam. Naming bila musim penghujan tiba, hamparan rumput beruah menjadi rawa-rawa tempat hewan membangun sarang.
         Kedatangan dan usaha Syekh Siti Jenar pun mengubah segalanya menjadi sebuah pendukuhan, dengan hanya membangun Tajug Agung yang sebelah kirinya dibangun kediaman beliau dan jarak 30 langkah dibangun pula 9 gubuk kayu beratap daun kawung tempat tinggal janda tua dan anak yatim. Janda tua dan anak yatim bukanlah manusia yang lemah yang diminta dikasihani, bahkan sebaliknya mereka hidup mandiri dengan menganyam tikar dan mencari kayu bakar bahkan dengan bercocok tanam memanfaatkan lading yang ada.
         Keberadaan Tajug Agung sangatlah penting sebagai penunjang beribadah dan tempat kegiatan keagamaan lainnya, bahkan dari tempat ini lah Syekh Siti Jenar menyiarkan Islam. Masyarakat pendukuhan Lemahabang mempunyai keunikan dan cirri khas yaitu :

- Para wanita selalu mengenakan “kemben” ( kain penutup dada )
- Dan Pria selalu mengenakan “kain” ( dester/jubah ) juga dilengkapi golok dipinggang kiri sebagai
  lambang kehormatan kaum pria untuk melindungi kaum wanita.

Tentu itu semua bertolak belakang dengan adat istiadat dan budya kerajaan “GALUH PAKUAN”  saat itu.

            Sepeninggal Syekh Siti Jenar, Pedukuhan Lemahabang menjadi sepi. Menjelang beberapa tahun kemudian muncul seorang pinageran yang bernama Pangeran Welang yang menghidupkan kembali segala aktivitas, baik dari perekonomian, kebudayaan dan keagamaan serta segala kehidupan Pendukuhan Lemahabang..
Pangeran Welang menetapk di blok kringkel (kroya), lalu ia menuju ke sebelah barat Pendukuhan Lemahabang yang sekarang bernama blok Tabet, dari blok Tabet berpindah lagi ke sebelah selatan yang dinamakan blok Makampanjang beliau meninggalkan pusaka keris yang bernama Sikara Welang. Dari blok Makampanjang baliau berpindah lagi ke sebelah selatan yaitu blok Kamer, beliau menuju ke sebelah timur dan angadakan ritual bertapa di blok tersebut, sehingga daerah tersebut dinamakan blok Tapa.
Perkembangan Pendukuhan Lemahabang sangatlah cepat dengan dibangunnya pasar sebagai tempat kegiatan perekonomian yang ramai dikunjungi saudagar dan pedagang dari luar daerah Lemahabang, dengan adanya hari pasaran setiap satu minggu sekali. Sebelah timur pasar digunakan kegiatan pandai besi, pembuatan alat dapur dan penyamakan kulit. Hal ini sangat mendukung, karena selain bangunan pokok (Tajug Agung) berdiri pula bangunan berderet melingkari Tajug Agung. Di samping itu, berdiri pula sanggar tempat pemujaan dan Vihara tempat beribadah umat Hindu dan Budha.

            Nama Pendukuhan (desa) Lemahabang tentunya tidak lepas dari perintis pendukuhan itu sendiri, yakni Syekh Siti Jenar (Syekh Lemahabang / Abdul Jalil).

Sudut pandang pemberian nama Pendukuhan (desa) Lemahabang sebagai berikut :

1.      Seceara “lahirlah” Lemahabang diartikan “lemah” berarti tanah, dan “abang” berarti merah.
         Pendukuhan Lemahabang berarti pendukuha yang sebagian tanahnya merah atau subur,
         sebab tanah merah adalah salah sau tanah yang paling subur.

2.      Secara “hakekat” Pendukuhan Lemahabang diartikan “lemah” berarti tenang, “abang” berarti
         darah (nafsu).

Kata “lemahabang” diartikan secara hakekat bahwa dimata Tuhan keberadaan manusia sederajat, yang kemuliaannya dibentuk oleh keimanan dan ketakwaan masing-masing manusia itu sendiri, tentunya melalui proses hawa nafsu yang ada dalam diri manusia, baik hawa nafsu marah, sawiyah sampai kepada hawa nafsu mutmainah.

Secara “hakekat” Pendukuhan Lemahabang diartikan sebagai hawa nafsu mutmainah

 (ketenangan jiwa) . diharapkan warna pendukuhan (desa) Lemahabang identic dengan hawa nafsu mutmainah dan tidak selalu mengumbar “nafsu amarah”.

     Perkembangan Pendukuhan Lemahabang pada abad 20 menjadi salah satu daerah yang merupakan salah satu wilayah Cirebon yang sekarng dikenal sebagai Desa Lemahabang Kulon dan Desa Lemahabang Wetan dari hasil pemekaran Desa Lemahabang, tepatnya terjadi pada tahun 1985.

     Berikut nama-nama Kepala Desa Lemahabang dan Desa Lemahabang Wetan yang diketahui diantaranya :

1.      Nata Wijaya                 :  1901 - 1917
2.      Marta                           :  1917 - 1923
3.      Sarminah I.                   :  1923 - 1927
4.      Sema                            :  1927 - 1934
5.      Muad                           :  1934 - 1943
6.      Mustakia I                    :  1923 - 1946
7.      Sarminah II                   :  1946 - 1949
8.      Mustakia II                   :  1949 - 1953
9.      Dastra                          :  1953 - 1965
10.  Temu                            :  1965 - 1985
11.  Andar Munandar          :  1985 - 1994
12.  Abdullah H. (Pjs.)         :  2002 - 2003
13.  Edi Hartono (Pjs.)        :  2003 - 2005
14.  Turino Junaedi  :  2005 – sekarang

Riwayat Desa Lemahabng Kulon setelah adanya pemekaran wilayah dipimpin oleh
kepala Desa Lemahabang Kulon, Andar Munandar yang menjadi kepala desa pertama dengan masa jabatan periode pertama (1985 – 1994) dan beliau melanjutkan masa kepemimpinan periode kedua sampai akhirnya beliau meninggal dunia sebelum masa jabatannya habis. Sepeninggal beliau, tumpuk kepemimpinan Desa Lemahabang Kulon dijabat oleh para pejabat sementara (Pjs), yaitu :

1.      Abdullah H. (Sekdes.) periode tahun  2002 - 2003
2.      Edi Hartono (Kaur Pemerintah Desa Lemahabang Kulon) periode tahun  2003 – 2005

Pada tanggal 26 Januari 2005 tampuk kepemimpinan Desa Lemahabang Kulon dijabat oleh Turino Junaedi selaku Kepala Desa yan g dipilih langsung oleh masyarakat Lemahabang Kulon.

     Sebuah pepatah mengatakan : “Barang siapa yang meninggalkan dan melupakan seni budaya dan para leluhurnya, maka terimalah kehancuran dari suatu daerah tersebut.”



DAFTAR PUSTAKA


(2007), Asal - Usul Desa di Kabupaten Cirebon Bagian Kelima. Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon

Post a Comment

0 Comments